Catatan Baca: Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith
Mari kita mulai catatan baca sekaligus story perdana di Medium baru ini dengan membahas isi buku Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith — Katrine Marcal yang diterjemahkan oleh Ninus D. Andarnuswari. Berjumlah dua ratus dua halaman, dibagi menjadi enam belas bagian yang mudah dipahami dan tidak terlalu panjang, membuat buku ini nyaman dibaca. Bahkan untuk saya sendiri yang masih susah dan memiliki sedikit motivasi untuk baca buku non-fiksi.
Meskipun nama Adam Smith terpampang di judul, buku ini bukan biografi Adam Smith, atau menjelaskan secara rinci siapa yang memasak makan malam Adam Smith. Tetapi menjelaskan keterkaitan hal-hal yang dianggap bukan bagian dari aktivitas produktif, yang nyatanya memberi pengaruh pada kegiatan yang disebut aktivitas produktif yang mendatangkan kesejahteraan.
Setidaknya ada dua hal yang mendasari pemikiran Katrine dalam buku ini, yaitu:
1. Kepentingan diri untuk memenuhi kebutuhan bukan satu-satunya dorongan individu untuk melakukan sesuatu.
Dalam konsep manusia ekonomi, manusia digambarkan sebagai individu yang bergerak atas dasar kepentingan diri untuk memenuhi kebutuhannya, dan kebutuhan dapat dipenuhi dengan uang. Hal ini menurut Katrine tiada lain merupakan bentuk penyederhanaan pengalaman manusia yang beragam.
Adam Smith hanya berhasil menjawab separuh pertanyaan fundamental ilmu ekonomi. Ia tidak mendapatkan makan malamnya hanya karena para pedagang memenuhi kepentingan diri mereka sendiri melalui perdagangan. Adam Smith mendapatkan makan malamnya karena ibunya memastikan makanan terhidang di atas meja setiap malam.
Dewasa ini kadang ditekankan bahwa perekonomian tidak hanya dibangun dengan tangan tak terlihat, melainkan juga dengan hati tak terlihat. Namun barangkali ini gambaran yang terlalu diidealisasi ataas tugas yang oleh masyarakat secara historis dibebankan kepada perempuan. Kita tidak tahu mengapa ibu Adam Smith mengurus anaknya. Yang kita tahu, ia melakukannya. (Hal. 19)
2. Perempuan bukan bagian dari konsep “manusia ekonomi”, tetapi…
Sejak awal, aktivitas domestik perempuan tidak dianggap sebagai aktivitas ekonomi. Sebab, aktivitas tersebut tidak menghasilkan barang yang dapat dibeli, diperdagangkan, atau dijual sehingga tidak menyumbang pada kemakmuran. Aktivitas perempuan di dalam rumah semata-mata dianggap sebagai fungsinya sebagai perempuan dengan sifat-sifat feminin yang melekat.
Saat akhirnya para ekonom mulai melirik perempuan dalam aktivitas ekonomi, para ekonom tidak membuat racikan baru, tidak menjelaskan fenomena baru, melainkan hanya menjejalkan perempuan pada dunia yang dibangun dan didominasi oleh laki-laki. Akibatnya perempuan kembali mengalami ketersisihan. Perempuan mendapat upah yang lebih sedikit, perempuan mengalami beban ganda, bahkan perempuan rentan mengalami kekerasan lainnya.
Guna mempertahankan gagasan bahwa manusia ekonomi itu universal, perempuan harus dijejalkan ke dalam model tersebut seolah-olah perempuan itu sepertinya. Nih, hak setara dan kebebasan setara untuk bersaing di pasar tenaga kerja. Sana, pergi dan taklukan! (Hal. 65)
Selain dua hal tersebut, dalam buku ini Katrine juga membicarakan kekeliruan dalam berbagai praktik ekonomi yang disebabkan oleh penyederhanaan pengalaman manusia. Bagaimana nalar kita dituntun untuk selalu mempercayai pasar, meskipun pasar berulang kali gagal. Saat uang yang menjadi pusat dari ekonomi, ternyata tidak selalu mampu menyelesaikan masalah. Praktik-praktik industri yang memisahkan diri dari lingkungan. Dan tentunya yang paling penting jawaban dari pertanyaan, “mengapa ilmu ekonomi membutuhkan feminisme?”.